Sabtu, 03 Mei 2008

SERATUS HARI

Nonon tak pernah menyangka kalau ciuman yang diberikan pada tangan, kening, dan kedua belah pipi ibunya yang biasa disapanya dengan sebutan emak pada Senin itu merupakan ciuman yang bisa ia berikan untuk yang terakhir kalinya. Batinnya selalu menyesali mengapa ia tak pernah sampai mencium telapak kaki emak selagi emaknya masih sadar. Memang ia sempat mencium kaki emak tapi ciuman itu baru ia berikan saat kondisi emak sedang koma dua hari sebelum menghempaskan nafas terakhirnya.

Penyakit diabet yang menyerang emak tak kenal ampun. Padahal selama ini emak tak pernah terlihat sakit. Hal ini pula yang membuat Nonon menyesal mengapa ia tak pernah memperhatikan kesehatan orang tuanya, ia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Akhir-akhir ini memang tubuh emak terlihat mengurus, namun ia dan kakak-kakaknya berpikir bahwa diet yang dilakukan emaknya berhasil. Ternyata yang terjadi sebenarnya adalah penyakit diabet tengah menggrogoti tubuh emak yang subur.

Nonon juga tak pernah mengira kalau anjuran yang ia sampaikan pada kakaknya untuk membawa emak check up ke rumah sakit malah memaksa emak masuk ke ruang ICU.

Selasa pagi dada emak sesak. Nonon sedih ketika ia mendapatkan kabar kondisi emak yang seperti ini. Ia jadi semankin gelisah karena memang dari semalam ia tidak bisa tidur, perasaannya sangat tidak enak. Semalaman ia terbayang-bayang wajah emak yang terlihat jauh lebih tua dari semestinya, belum lagi ia juga merasa adanya keanehan, hatinya bertanya-tanya mengapa kemarin emak selalu ingin sholat, bolak-balik ke kamar mandi untuk berwudhu.

”Mak, mau sholat ape gini ari?” tanya Nonon saat melihat emaknya selesai berwudhu.

”Sholat Ashar” jawab emak lirih.

”Lho Mak, ini kan baru jam setengah dua belon waktunye pan baru aje emak sholat Lohor” jelas Nonon pada emaknya.

Emak diam saja, matanya semakin sayu. Tak lama kemudian emak sudah mengambil wudhu lagi, lalu dijelaskan kembali oleh Nonon bahwa waktu Ashar belum tiba. Begitu terus sampai benar-benar waktu Sholat Ashar tiba. Tak terasa air mata Nonon terus mengalir ia jadi ingat juga bagaimana neneknya dulu menjelang ajalnya menunjukkan perilaku yang sama seperti emaknya. Namun demikian, Nonon berusaha menepis firasat buruk yang bersarang di dadanya.

Pukul setengah delapan telepon genggam Nonon berdering. Bunyinya begitu mengagetkan, jantungnnya berdegup kecang. Kak Imah! Buru-buru Nonon mengangkat telepon dari kakaknya itu.

”Non, emak masuk UGD, dan dokter meminta persetujuan dari keluarga untuk merawat emak di ruang ICU karena kondisinya kritis, bagaimana menurut Non?” Suara kak Imah terdengar putus-putus diselingi dengan suara sesegukan tangis.

”Kalau memungkinkan, baiknya emak dibawa ke rumah sakit yang bisa menerima Askes saja” ujar Nonon setenang mungkin.

”Emak nggak mau” jawab kak Imah panik

”Ya sudah lakukan saja yang terbaik, bentar lagi Non ke sana”

Nonon langsung menghubungi kakak-kakaknya yang berada di luar kota, mengabarkan keadaan emak. Kemudian ia izin pada kepala sekolah untuk pulang karena emaknya sakit.

Perjalanan yang melelahkan tak dirasakan oleh Nonon. Sesampainya di rumah sakit Nonon tak dapat menahan air mata. Terlihat mata babe memerah bekas tangisan, demikian juga dengan kak Imah.

”Apus aer mata Non! Emak pasti sedih kalau lihat Non menangis” pinta bapaknya yang biasa disapa dengan panggilan babe, pada Nonon.

Setelah berhasil menenangkan diri Nonon menengok emaknya yang terlihat gelisah. Di ruang UGD yang ber-AC itu terdapat peralatan medis yang cukup banyak yang Nonon sendiri tidak begitu mengerti masing-masing penggunaannya. Nonon hanya tahu tabung yang berada di sebelah kiri emak adalah tabung oksigen. Nafas emak masih tersengal-sengal walaupun sudah dibantu dengan oksigen. Bibirnya kering dan pucat.

”Aus, aus !” erang emak pada suster yang menjaga.

Dokter tidak membolehkan terlalu banyak minum, kasihan emak pasti ia sangat kehausan. Terlihat suster sibuk menangani emak Nonon melihat bagaimana tak lama kemudian jari emak ditusuk dengan jarum kemudian darah pun keluar. Darah itu diambil kemudian diletakan di sebuah alat kemudian alat yang ada darahnya itu ditaruh di sebuah alat berbentuk kotak mungkin itu adalah mesin pemeriksa darah. Jari emak yang lainnya dijepit dengan penjepit yang mirip dengan jepitan jemuran, tetapi ada lampunya entah untuk apalagi.

Nonon tidak banyak bertanya, ia takut dikatakan cerewet. Jangan-jangan bila ia cerewet nanti emak tidak diberikan perawatan yang baik, begitu pikirnya. Sama dengan kebanyakan orang Indonesia lainnya selalu ketakutan dan malu untuk bertanya.

”Tenang ya Mak, bentar lagi juga emak sembuh” tutur Nonon mencoba menghibur emak sambil sesekali meneteskan air di bibir emak.

Nonon mendekati kakaknya, ia tak sabar ingin tahu penyakit apa yang membuat emak harus dipasangi berbagai kabel di tubuhnya.

”Sebenernye Emak kenape?” tanya Nonon penasaran.

”Gula, gula emak sampai 600” jelas kak Imah

”Astagfirullah” ucap Nonon kaget.

Tak lama kemudian, dari ruang UGD emak dibawa ke ruang ICU. Sebelumnya dokter sudah memberitahu emak, bahwa nanti lebih banyak lagi peralatan yang akan digunakan, mungkin dokter merasa perlu menyampaikan hal itu pada pasien agar pasien tidak kaget.

Waktu berjalan cepat sekali Nonon diminta kak Imah pulang duluan untuk mengambil tabungan di bank. Walaupun Nonon dan kakaknya berusaha untuk tidak membicarakan masalah biaya di depan babe, namun babe tetap ingin tahu.

”Non diminta ambil uang?” tanya babe.

”He eh” jawab Nonon singkat.

”Memangnya Non disuruh ambil berapa? Kan tadi udah nyetor uang 7 juta”

”Iye, tapi sekarang dokter minta kite nyiapin empat juta lagi soalnye ade obat yang masih harus dibeli” jelas Nonon.

Babe terdiam air matanya meleleh membasahi pipinya yang sudah berkerut. Bibirnya gemetar. Sorot matanya menunjukkan kegelisahan yang bercampur kesedihan, ah tak tega Nonon melihatnya.

”Memangnya Non punya uang sebanyak itu?”

”Insyaallah ada”Ucap Nonon menenangkan.

”Masyaallah ni rumah sakit bener-bener nyari duit. Kagak liat orang lagi kesusahan”

”Sudahlah Be, Babe nggak usah bingung insyaallah ada jalan kluwarnye”

”Iye paling kalo ampe mentok kite jual aje rume kite ye”

”Yang penting emak sembuh”

Nonon sangat sedih melihat bapaknya sampai memutuskan akan menjual rumah untuk biaya pengobatan emak. Bagaimanapun babe adalah sosok suami yang sangat mencintai istri. Mungkin hati kecilnya sedih tidak bisa berbuat apa-apa untuk istri tercinta, padahal istrinya sedang membutuhkan perawatan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara ia tak punya apa-apa kecuali rumah yang sekarang ditempatinya, rumah di mana Nonon dan ketiga kakak-kakaknya dibesarkan.

Akhir-akhir ini kehidupan rumah tangga memang hanya mengandalkan gaji emak sebagai guru PNS ditambah dengan uang dari anak-anak emak yang sudah bekerja. Makanya sejak dari awal Nonon sudah meminta kak Imah untuk membawa emak ke rumah sakit yang mau menerima Askes. Namun, apa boleh buat, emak telanjur percaya bahwa pengobatan di rumah sakit Moris sangat bagus seperti yang ia dengar dari sahabatnya, bu Mamay.

Rumah sakit Moris merupakan rumah sakit besar di daerah Cileduk. Lokasinya pun tidak begitu jauh dari tempat tinggal keluarga Nonon. Di rumah sakit ini segala sesuatunya terlihat mewah, waktu tadi baru masuk saja Nonon sempat terpesona dalam hati ia bergumam ”Ini rumah sakit apa hotel kok bagus amat?”. Satu kekurangan rumah sakit swasta ini adalah tidak mengenal amal. Mata mereka seakan buta oleh keadaan pasien dan keluarga pasien. Mereka tidak akan mengizinkan pasien dirawat bila tidak bisa menyetorkan uang jaminan. Menyedihkan memang, namun kenyataannya memang seperti itu.

Babe dulu pernah berwiraswasta, namun telah lama usahanya bangkrut karena kehabisan modal. Bantuan dari anak yang bisa diharapkan hanya dari Nonon dan kak Imah yang belum berkeluarga. Kakak Nonon yang pertama seorang laki-laki yang kini sudah berumah tangga, ia hidup hanya dengan menjadi supir antar jemput anak sekolah. Uang yang didapatnya hanya cukup untuk istri dan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Kakaknya yang nomor dua seorang perempuan juga sudah berkeluarga, tinggal di luar kota. Kehidupannya lumayan namun tampaknya gaya hidup telah menguras seluruh gajinya sehingga jangankan untuk orang tua, untuk menabungpun tidak bisa. Paling sesekali kalau ia lagi ingat ia akan memberi pada babe atau emak, terutama kalau hari raya Idul fitri.

Nonon adalah anak paling kecil ia sangat dekat dengan emak segala yang diajarkan oleh emak ia jalankan termasuk anjuran untuk biasa hidup hemat. Gajinya yang belum seberapa itu ia pos-poskan untuk orang tua, untuk makan atau jajan, untuk transport, untuk bayar kos, dan sisanya ditabung. Karena begitu dekatnya tak ada rahasia yang sembunyikan Nonon pada emaknya. Emak tahu semua perkembangan Nonon, emak tahu kapan pertama kali Nonon jatuh cinta, Emak juga pasti tahu apa yang sedang menjadi keinginan Nonon. Dan tiap kali Nonon minta didoakan atas keinginannya itu emak selalu menjawabnya, ”Aamiin, doa emak nggak ada putus-putusnye!”

Kak Imah, kakak persis di atas Nonon, sebenarnya ia orang yang boros tapi perhatiannya pada orang tua tidak pernah kurang. Dan hanya ia yang selama ini menemani emak dan babe di rumah, karena Nonon harus Kos. Nonon terlalu lelah untuk pulang-pergi ke Lebak tempatnya melaksanakan tugas sebagai guru PNS.

Tiba-tiba lamunan Nonon dibuyarkan oleh suara menggelegar disertai kilatan cahaya di langit. Hujan belum turun, namun kilat halilintar sudah terdengar. Langit mendung demikian juga hatinya yang selalu teringat akan emak. Jarum jam menunjukkan pukul tiga sore, namun seperti sudah pukul tujuh malam, gelap mencekam. Nonon kembali melanjutkan kegiatan membaca buku yang baru dibelinya, sebuah buku berjudul ”Leadership Quotient” karya Martha Tilaar. Suara hallilintar terdengar lagi kali ini disertai jatuhnya air hujan dengan derasnya.

Pagi itu Nonon berangkat ke tempatnya mengajar seperti biasa, hanya gerak langkahnya saja yang agak berbeda, kurang semangat. Nonon yang centil nyaris tak nampak lagi, sepeninggal emak ia memang agak berubah. Ia langkahkan kakinya dengan santai menyusuri jalan kecil berbatu dan menanjak yang di kanan kirinya masih hutan. Nonon selalu menikmati perjalanan ke sekolah, ia menghirup napas dalam-dalam, segar rasanya, ia benar-benar menikmati bau dedaunan di pagi hari. Ia memang cinta dengan desa ini karena kampung halamannya yang walaupun masih disebut kampung tapi sudah terjamah dengan teknologi yang menebarkan asap polusi. Kampungnya memang terletak di pinggiran kota sehingga sulit untuk terhindar dari dampak kemajuan kota.

Biasanya ia tak bisa menyembunyikan keriangan hatinya menyambut pagi. Tangannya direntangkan hingga angin dingin membelai lembut tangannya, menyusup terus hingga terasa sampai ke ketiaknya. Jalannya juga setengah berjingkrak, kadang kalau suasana sepi sekali, ia tak segan-segan melepas sepatunya dan berjalan dengan kaki telanjang. Ia nikmati sentuhan batuan dan kerikil menusuk saraf-saraf kakinya, ia rasakan aliran darah yang menghangat diseputar kakinya.

Kalau kebetulan ia bertemu dengan penduduk desa, ia akan memasang senyum lebar-lebar, dan orang desa itu pun membalas senyumannya. Sebagian dari mereka mengerti dengan tingkah Nonon sebagai orang yang sedang menikmati alam pedesaan, sebagian lagi menatap dengan tatapan keheranan.

Sampai di sekolah ia disambut oleh beberapa anak murid yang sedang bercengkrama di halaman sekolah, mereka pun berlarian mendatanginya, ia julurkan tangannya, anak-anak mencium tangan Nonon dengan hormat. Tak jarang tangannya yang satunya lagi membelai kepala anak didiknya dengan rasa sayang yang tulus.

”Pagi Bu!” sapa mereka.

”Pagi” jawab Nonon dengan ramah.

Nonon berusaha menyembunyikan kesedihan hatinya. Biaya rumah sakit memang tidak sampai menyebabkan babe menjual rumah, namun biaya tahlilan telah membuat babe berhutang kesana kemari. Tabungan Nonon sudah ludes, ia tak bisa lagi membantu. Ia ingat percakapannya dengan babe kemarin sebelum berangkat ke desa ini.

”Non, seratus harian emak minggu depan, kite butuh biaya lagi”

”Be, Non udah nggak punya duit lagi. Udahlah Be, kite nggak usah ngadain seratus harian emak, kite eje sekeluarga doain emak”

“Nggak bisa Non! Ape kate orang nanti?”

Nonon bisa memahami apa yang ada dipikiran babe. Pastilah babe takut menjadi omongan orang kalau tidak bisa menyelenggarakan seratus harian emak. Padahal Nonon sudah berusaha menjelaskan bahwa tradisi seratus harian tidak ada ajarannya dalam agama.

”Be, utang kite ame pak Jali dan pak Tobing aje belum lunas dibayar, kemane lagi kite cari duit?”

”Itulah Non, kemaren babe udah coba hubungin pak Daud katenye die minat ame nih rumah”

“Ape? Ya Allah, terus babe ame kak Imah mau tinggal di mane?”

“Kite beli aje rumah yang kecilan mudah-mudahan ade”

Nonon hanya bisa menarik napas panjang. Babe pasti lebih berat pada tradisi, babe tak sanggup menanggung malu dan mendengar omongan orang mengenai dirinya yang tidak bisa menyelenggarakan seratus harian istrinya.. Memang sulit melawan tradisi.

Ketika Nonon memasuki ruang guru teman-teman menyapanya hangat. Sudah tiga hari ia tak berjumpa dengan teman-temannya, biasanya ia pulang hari Sabtu, tetapi Minggu kemarin ia pulang hari Kamis karena tidak enak badan.

”Waduh orang kota baru kelihatan lagi nih”sapa pak Opik guru olah raga.

”Ah, Pak opik bisa aja, kangen ya?” Nonon membalas dengan canda.

” Eh, yang kangen bukan saya saja, tadi bapak kepala sekolah baru datang juga sudah mencari Bu Nonon” sahut pak Opik sambil melirik ke ruang kepala sekolah.

” Ibu diminta menemuinya di ruangannya” jelas pak Asep guru bahasa Sunda.

Nonon baru saja mau menemui kepala sekolah, ketika tiba-tiba bapak kepala sekolah sudah ada di hadapannya. Mungkin ia sudah mendengar suara Nonon dari ruangannya.

”Bagaimana Bu Nonon, sehat?” sapa bapak kepala Sekolah

”Alhamdulillah, Pak” jawab Nonon.

”Untung Ibu datang hari ini, sudah dari hari Jumat saya mencoba hubungi nomor HP Ibu tapi tidak ada jawaban demikian juga dengan telepon rumah, padahal waktunya mendesak”

Ya memang sekarang ia akan sulit dihubungi bagaimana tidak Hpnya sekarang sudah dijual, dan telepon rumah sudah diblokir karena sudah tiga bulan tidak bayar, semuanya terjadi untuk menutupi biaya tahlilan yang sangat besar. Memang tradisi tahlilan di daerahnya sangat memakan biaya, karena orang yang datang hampir seluh isi kampung ditambah beberapa orang dari kampung tetangga, semuanya harus diberi besek (berisi nasi dan lauk pauk) dan amplop yang isinya sepuluh ribu rupiah. Belum lagi untuk bayar kyai atau ustadnya. Padahal kondisi keuangan sedang minim karena terkuras untuk biaya emak di rumah sakit.

”Memangnya ada apa Pak ?” tanya Nonon penasaran

”Bu Nonon masuk tiga besar dalam pemilihan guru berprestasi tingkat propinsi, dan grand finalnya besok hari Selasa di ruang serba guna Gedung Pemerintahan Propinsi Banten pukul tujuh Bu Nonon sudah harus ada di sana”

”Alhamdulillah!” hanya itu yang keluar dari mulut Nonon matanya berkaca-kaca menahan haru. Ia sendiri nyaris tidak ingat kalau ia tengah diseleksi untuk menjadi guru berprestasi tingkat propinsi setelah lulus seleksi tingkat kabupaten.

Nonon pergi ke Pusat Pemerintahan Propinsi dengan diantar oleh Aceng keponakan ibu kos, yang sangat baik kepadanya. Setibanya di sana ia disambut panitia pemilihan dan diberi petunjuk di mana ia harus duduk. Kursinya berada di bagian depan sebelah kanan ruangan. Di bagian ini ada tiga baris kursi dengan tiap barisnya terdiri sepuluh kursi, rupanya barisan ini khusus untuk para calon guru berprestasi tingkat propinsi mulai dari TK sampai SMA dari berbagai kabupaten dan kota madya. Di seberangan barisan ini, yaitu sebelah kanan ruangan terdapat empat kursi untuk panitia dan pembawa acara.

Sementara para pejabat yang berwenang sebagai dewan juri duduk di tengah-tengah ruangan, depan panggung. Di belakang dewan juri adalah para undangan serta para pendukung calon guru berprestasi. Ruangan nyaris penuh dengan manusia namun tidak terdengar suara berisik semuanya duduk dengan tenang, hanya sesekali terlihat beberapa panitia sibuk lalu lalang.

Tiba-tiba suasana menjadi agak ramai, terlihat serombongan orang dewasa mengenakan seragam pemda dan beberapa anak berseragam putih abu-abu baru datang. Ketika Nonon melirik ke arah mereka ada diantara mereka yang melambaikan tangan, Nonon masih tidak sadar sebenarnya siapa yang dilambaikan. Sampai ia melihat salah seorang berjalan dengan penuh wibawa. Ah siapa lagi yang punya gaya berjalan dan sisiran rambut yang khas seperti James Bon ternyata benar ia adalah kepala sekolah tempat Nonon mengajar dan yang lain adalah teman-teman serta murid-muridnya. Nonon tersenyum lebar, hatinya yang beku sedari tadi karena grogi, kini mulai hilang. Dirasakan kehangatan menjalar di tubuhnya, ia menjadi semangat.

Ketika giliran Nonon tampil ke atas panggung untuk menjawab pertanyaan dewan juri, suara tepukkan para pendukungnya terdengar menyambutnya. Apalagi ketika Nonon selesai menjawab pertanyaan dewan juri yang menanyakan apa dan bagaimana pendapatnya mengenai pendidikan di Indonesia, kontan terdengar suara bergemuruh yang lebih dasyat dari sebelumnya. Rupanya jawaban Nonon sangat bagus sekali sehingga bukan hanya para pendukungnya yang bertepuk tangan melainkan hadirin yang lainnya termasuk dewan juri juga ikut bertepuk tangan.

Nonon terharu, tak terasa air matanya menetes di pipinya. Dilihatnya begitu banyak manusia yang mendukung dirinya. Ia jadi teringat akan emak yang dengan tangan kecilnya telah membuat ia menjadi manusia yang berarti sehingga mendapatkan kesempatan untuk berdiri di panggung ini. Ia ingat begitu banyak orang yang bertakziah ke rumahnya, begitu banyak orang yang menyolatkan dan mengantarkan emak ke liang lahat. Saat itu ia benar-benar merasakan kebesaran emaknya seorang guru TK yang sederhana, namun luas pergaulannya. Emak memang orang yang ramah, pada siapa saja ia peduli dan mau menyapa. Sekarang ia rasakan betapa semua ajaran yang diberikan emak sangat berarti, apalagi ketika akhirnya ia terpilih sebagai guru berprestasi tingkat propinsi dan akan mewakili propinsi Banten di tingkat nasional nanti.

Sungguh Nonon merasakan kebesaran Allah, di tengah himpitan masalah keluarganya ia menerima penghargaan ini. Nonon tak henti-hentinya bersyukur atas apa yang didapatnya dan berdoa semoga hadiah yang akan diterimanya cukup untuk membiayai acara seratus harian emaknya, sehingga babe tak perlu menjual rumah yang penuh kenangan itu.

Cerpen

DIANTARA DUA HARAPAN

Ratna masih bisa tersenyum ketika menerima SK pengangkatannya sebagai CPNS. Meski sama-sama ditempatkan di kabupaten Lebak jelas Ratna lebih beruntung dari Nining yang ditempatkan di sekolah yang terpelosok bahkan nama daerahnya saja tidak ada di peta!

Kenyataannya Ratna menangis ketika pertama kalinya datang ke SLTP Cireunteun Kab. Lebak. Apalagi saat di tengah perjalanan yang kiri kanannya masih hutan, jalannya pun naik-turun, berkelok-kelok, dan berlubang ia membaca tulisan “Kawasan Baduy” . Tak ayal lagi mobil ELF yang bau solarnya sangat menyengat hidung selama di perjalanan membuat tubuh Ratna yang kecil mungil dan duduk sendirian itu terbanting ke kiri ke kanan, ke atas lalu terhenyak, sehingga perutnya terasa sakit.

Abdi ti Bandung nganteurkeun si bungsu bade ngawulang di dieu,” (saya dari Bandung mengantar anak bungsu yang mau mengajar di sini) kata seorang bapak tua kepada kepala sekolah induk tempat Ratna akan bertugas.

“Aku juga anak bungsu, perempuan lagi, dari tempat yang jauh juga, tapi aku tidak diantar….uh sebel!” bisik Ratna dalam hati. Memang orang tua Ratna tidak bisa mengantar karena mereka sedang menunaikan ibadah haji. Keberanian Ratna untuk pergi ke tempat terpencil ini pun karena ingat pesan orang tuanya.

Di mana pun kamu ditempatkan kamu harus bersyukur,” kata mama.

Sedikit sekali orang yang memiliki nasib sebaik kamu, baru lulus kuliah lalu ikut

tes PNS langsung dapat tanpa harus mengeluarkan uang,”tambah mama lagi.

Iya, lagi pula suatu saat kamu bisa mutasi,” kata papa menenangkan.

Dari percakapan antara kepala sekolah dengan bapak tua yang datang dari Bandung

Ratna mengetahui bahwa guru yang dikirim saat itu adalah untuk UGB(Unit Gedung Baru) semuanya berjumlah sebelas orang. Dari sebelas orang itu hanya ada dua orang perempuan yaitu ia dan seseorang yang bernama Narti.

Sejak mulai berdirinya gedung sekolah tersebut dua tahun yang lalu, tenaga yang mengajar adalah guru-guru dari sekolah induk, bahkan kepala sekolahnya pun belum ada.

Dengan perasaan yang masih kacau Ratna dikenalkan dengan bapak-ibu Ru’yat . Di rumah bapak Ru’yat inilah akhirnya Ratna kos. Pak Ru’yat adalah guru SD yang berasal dari Lampung. Pak Ru’yat sudah bertugas di daerah tersebut sejak 15 tahun yang lalu. Kini ia mempunyai istri penduduk asli desa tersebut dan tiga orang anak perempuan, dua yang terakhir adalah anak kembar berusia 3 tahun , yakni Icah dan Nisa.

Maaf Bu, keadaan kami ya seperti ini, tidak seperti rumah Ibu di kota,”kata

bu Ru’yat dengan logat Sundanya.

Ah tidak apa-apa Bu, bisa diterima kos di sini saja saya sudah beruntung, untuk itu saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu dan Bapak menerima saya,”jawab Ratna seanggun mungkin, karena ia tak ingin orang lain mengetahui keadaan hatinya yang masih resah.

Terlihat kehati-hatian bu Ru’yat dalam berbicara karena ia terpaksa harus menggunakan bahasa Indonesia yang jarang digunakannya. Ia mungkin takut kalau-kalau Ratna yang bukan orang Sunda itu tidak mengerti apa yang diucapkannya. Ratna memang besar diTangerang, tetapi orang tuanya bukan asli orang Tangerang, papanya orang Padang sedang mamanya orang betawi, jadi wajar bila Ratna tak bisa bahasa Sunda.

Ketika Ratna sedang asik ngobrol dengan bapak dan ibu Ru’yat, tiba-tiba datang seorang anak SD.

Assalamualaikum,” ucap anak SD tersebut.

Waalaikum salam,” jawab semua yang ada di ruangan itu.

Ini Ana, anak kami yang pertama sudah kelas 5 SD,” kata pak Ru’yat memperkenalkan.

Malam harinya, di dalam kamar kos Ratna tak bisa memejamkan matanya, ia merasa terasing. Ia membayangkan seperti apa murid-muridnya nanti. Akan sanggupkah ia menjalankan tugas ini,jauh dari orang tua dan teman-temannya. Matanya kembali berkaca-kaca, untuk kesekian kalinya air mata mengalir di pipinya yang lembut dan menetes membasahi mukena yang masih dikenakannya usai sholat malam.

Siap grak! Berdoa grak!” ujar KM memberi aba-aba.

Selesai grak! Memberi salam grak!” perintah KM lagi

Ratna menjawab salam anak-anak seraya terseyum. Dalam hati Ratna geli kok memimpin doa seperti mau baris-berbaris saja, pakai siap grak segala.

Hari pertama Ratna isi dengan perkenalan, ia mulai mencoba membiasakan anak didiknya untuk mendengar dan berbicara dalam bahasa Inggris. Sulit! Ini adalah pekerjaan sulit baginya yang sudah terbiasa mengajar anak kota yang dari SD banyak yang sudah ikut les bahasa Inggris. Lucunya setiap kali Ratna meminta muridnya mencoba meniru ucapannya, muridnya hanya tertawa malu-malu.

Ratna sedang asyik membaca saat pintu kamar kosnya diketuk.

“Bu guru,aya rencangannana eh ada teman ibu, itu sudah menunggu di ruang tamu,” ucap bu Ru’yat memberitahu sambil tak lupa tersenyum.

Ratna bergegas ke ruang tamu. Di sana sudah berkumpul rekan sejawatnya yang mayoritas laki-laki. Ia pun segera duduk samping bu Narti.

Kumaha damang?” sapa pak Usep.

Aduh jangan pakai bahasa Sunda dong, aku tidak mengerti nih!”, jawab Ratna

setengah merengek, mengundang tawa yang lainnya.

Kumaha damang artinya bagaimana keadaan Ibu apa baik-baik saja?” jelas bu Narti yang asli orang Lebak

Iya ,jangan pakai bahasa Sunda toh, aku juga ndak ngerti” kata pak Jaya dengan logat Jawanya yang medok

Dari hasil bincang-bincang di tempat kos Ratna yang untuk selanjutnya sering dijadikan tempat berkumpul karena lokasinya yang paling dekat dengan sekolah, terbentuklah struktur organisasi sekolah sementara sambil menunggu datangnya kepala sekolah yang definitif. PKS yang terbentuk semuanya dipegang rekan-rekan Ratna yang laki-laki. Ratna dan Narti tak begitu acuh atas kedudukan tersebut, mereka asik dengan pikiran mereka sendiri yaitu bagaimana caranya agar bisa pindah secepatnya!

Usai sholat maghrib Ratna ke luar dari kamarnya bergabung dengan keluarga Ru’yat menonton acara televisi. Ratna dan bu Ru’yat duduk di bawah sementara Ana dengan asiknya duduk di kursi sambil mengangkat kaki.

Ana coba duduk di sini dekat ibu! Kan enak duduk sama-sama di bawah,” ajak Ratna pada Ana.

Mendengar itu mata bu Ru’yat lantas melihat ke arah Ratna kemudian dengan tersenyum malu berkata pada anaknya” Ana ka dieu diukna di dieu tah sami-sami di handap”.

Mungkin kebiasaan mereka seperti ini, ia ingat betul kalau orang tuanya melarang keras duduk di atas bila ada orang yang lebih tua duduk di bawah.

Bagaimana Bu, Ibu kerasan tinggal di sini?” tanya pak Ru’yat ketika datang dan bergabung menonton TV.

Ratna tidak menjawab, ia hanya tersenyum Ratna tidak bisa membohongi orang lain apalagi pada dirinya sendiri, makanya ia lebih memilih tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Ratna menikmati perjalanannya ke sekolah. Dilangkahkan kakinya dengan santai

menelusuri jalan yang penuh lubang dan mendaki. Ditariknya nafas dalam-dalam sejuk

rasanya, bau dedaunan menyegarkan. Sesekali ia menyapa penduduk yang berpas-pasan dengannya. Tangannya memeluk dadanya ia kedinginan dan memang ia tak kuat dingin bahkan alergi dingin, maka tak heran bila hidungnya sering tersumbat bila sudah kedinginan. Tapi pagi itu hidungnya tidak seperti biasanya hidungnya tidak tersumbat.

Bila melihat pemandangan alam pedesaan yang begitu indah, hijau menyejukkan rasanya ia tak ingin cepat-cepat pindah. Sebaliknya bila ia ingat bahwa keinginannya untuk melanjutkan kuliah jadi terhambat, karena letak daerah yang begitu jauh dengan gaji yang minim pula, juga bila ia ingat betapa sulitnya mengajar pelajaran bahasa Inggris di daerah ini rasanya ia ingin segera pindah!

Lamunannya terhenti ia melompat kaget, rupanya ia menghindari kantung plastik yang terserak di jalan, tapi bukan tanpa alasan ia melompat menghindari katung plastik yang sebagian isinya berserakan tersebut. Ratna tidak akan sekaget ini bila hanya melihat katung plastik, yang membuatnya kaget adalah isi kantung plastik tersebut yaitu kotoran manusia! Ratna menengok ke atas ada rumah di sana, mungkin orang yang tinggal di sanalah yang membuang kotoran itu seenaknya. Selama ini memang Ratna sudah tahu bahwa masih banyak penduduk yang tidak mempunyai jamban, mereka biasa membuang kotoran di sungai atau di hutan.

Ratna jadi ingat bahwa materi yang akan disampaikannya hari ini bertema kesehatan lingkungan dan ia ingat betul wacana yang akan diberikannya adalah mengenai pembuatan jamban! Cocok sekali! Ratna jadi tersenyum sendiri.

Memang sudah menjadi kebisaan Ratna tiap kali mengajar ia tidak hanya mengajar bagaimana berbahasa Inggris, melainkan juga memberikan informasi-informasi tertentu yang relevan antara tema wacana dengan kehidupan sehari-hari.

Ketika ingin memasuki ruangan kelas ia tersenyum melihat kaca jendela yang penuh debu itu justru ditulisi dengan kata-kata”Bu Ratna I love you”. Siapa anak yang iseng menorehkan tangannya ke kaca yang penuh debu itu pikir Ratna.

Good morning!” sapa Ratna sebelum memulai pelajaran.

Good morning maam!” jawab anak-anaksambil cekikikan pelan-pelan.

Mereka masih merasa lucu menggunakan bahasa Inggris, bahkan baru sebagian yang dapat melafalkan kata tersebut dengan tepat.

Anak-anak tema pelajaran kita pada hari ini adalah Environment Health yang artinya kesehatan lingkungan. Sebelum kita lanjutkan pelajaran ibu ingin kalian melihat kaca jendela kelas. Kontan anak itu menengok ke arah jendela yang berdebu di sana terdapat tulisan “Bu Ratna, I Love you”. Ibu mengucapkan terima kasih pada yang menulis tulisan tersebut, namun ibu lebih berterima kasih lagi pada anak yang mau membersihkan kaca jendela itu. Bukankah kebersihan adalah sebagian dari iman?”

Anak-anak pun melihat ke arah jendela, kemudian saling tuding siapa yang menulis di kaca jendela tersebut, membuat gaduh suasana. Ratna pun segera menenangkan mereka. Di tengah pembelajaran itu Ratna menyampaikan betapa pentingnya jamban untuk kesehatan.

Coba kalau kalian bayangkan bila ada lalat hinggap di kotoran yang kamu buang sembarangan kemudian lalat itu hinggap di makanan yang kamu makan?” dengan gaya yang lucu Ratna melemparkan pertanyaan tersebut.

“Iiiiiiiiiiih” jawab anak-anak itu serentak sambil cekikikan dan menutup hidung dan mulutnya.

Keluar dari kelas Ratna memasuki ruang guru langsung duduk dengan kepala tertunduk.

Bu Ratna ada apa?” tanya pak Dudi yang berasal dari Bekasi.

Sudah tidak usah dipikirkan,” kata pak Ahmad sok tahu.

Saya bingung mengajar mereka….sulit sekali! Saya merasa gagal”, jawab Ratna hampir menangis.

Aduh Bu Ratna jangan pesimis begitu, pelan-pelan saja, jangankan bahasa Inggris saya yang mengajar bahasa Indonesia saja sulit , karena bahasa sehari-hari mereka menggunakan bahasa Sunda”, kata pak Usep.

Walaupun sudah dihibur seperti itu ia tetap saja merasa tidak nyaman.

Pada kesempatan pulang ke Tangerang Ratna mengungkapkan keinginannya untuk berhenti mengajar di desa terpencil itu pada kedua orang tuanya yang baru pulang dari tanah suci.

Ma, Ratna tidak kuat Ma, capek!” kata Ratna.

Sabar Ratna, apa-apa juga harus sabar” jawab mama.

Tapi untuk apa?” tanya Ratna.

Gaji kecil, jauh lagi! Di sini saya bisa mengajar di sekolah yang bonafit, bisa memberi les privat, sekarang saya bisa apa mengandalkan gaji PNS?” tambah Ratna dengan sedikit emosi.

Kamu harus ingat Ratna, setiap sesuatu yang kita kerjakan dengan ikhlas, insyaallah akan ada manfaatnya” Tambah mama dengan mata berkaca-kaca.

Kuno! Begitu pikir Ratna, namun lagi-lagi ia harus mengalah pada orang tuanya itu.

Minggu siang Ratna diantar papanya ke daerah tempat ia mengajar. Ratna selalu berangkat hari minggu agar hari seninnya ia tidak terlalu lelah, itu pun atas saran mamanya, padahal ia ingin berangkat hari senin subuh agar ia masih bisa tidur di kamarnya sendiri satu malam lagi. Dalam perjalanan Ratna lebih banyak diam pikirannya berkecamuk. Banyak cita-cita dan harapan di dalam benaknya yang terhambat sejak ia ditugaskan di daerah yang terpencil ini. Salah satunya adalah keinginannya melanjutkan studi ke jenjang S2. Semula ia berharap bisa kuliah sambil bekerja, karena ia tahu tidak mungkin mengandalkan biaya kuliah S2 pada orang tuanya. Tetapi sekarang harapannya seolah-olah tak mungkin terwujud, tak mungkin ia bisa kuliah sambil bekerja di tempat terpencil ini dengan gaji yang minim.

Esok harinya Ratna berangkat ke sekolah dengan mata yang masih bengkak karena menangis semalaman. Di kelas ia berusaha menyembunyikan kegalauan hatinya. Namun, bengkak di matanya tak bisa membohongi anak didiknya. Banyak di antara anak didiknya terutama yang perempuan saling berbisik.

Sst… tingal soca bu Ratna bareuh!(lihat mata bu Ratna bengkak)” Bisik Itoh pada teman sebangkunya.

Muhun, aya naon nyak? (iya ada apa ya?)” tanya Wiwin berbisik pula

Teuing, tapi hawar-hawar bu Ratna bade ngalih! ( tidak tahu, tetapi kabarnya bu Ratna mau pindah)” bisik Itoh lagi.

Piraku, ceuk saha?(masa iya, tahu dari mana?)” tanya Wiwin lagi.

Ceuk si Ana, budak pak Ru’yat(kata si Ana, anaknya pak Ru’yat)” jawab Itoh.

Ratna merasa tak enak, ia merasa sedang diperbincangkan oleh murid-muridnya yang masih lugu. Tak seharusnya mereka tahu apa yang sedang terjadi dengannya pikir Ratna. Ratna pun berusaha menghidupkan kembali suasana kelas, agar murid-muridnya tidak terlalu memperhatikan bengkak di matanya lagi.

Ok now look at this words, listen and repeat after me, please! pinta Ratna sambil menunjuk ke papan tulis, dan rupanya murid-murid Ratna sudah terbiasa dengan perintah seperti ini.. Upaya Ratna berhasil, memang selama ini murid-muridnya senang bila diminta mengulangi kata-kata berbahasa Inggris yang diucapkannya, walaupun kadang-kadang masih salah juga. Seperti ketika Ratna mengatakan “yu” untuk “you” murid-muridnya tetap saja ada yang mengatakan yo-wu. Hal ini pula yang membuat Ratna geli ingin tertawa sekaligus kesal karena kok susah benar mengajarkannya.

Ratna tengah bergegas pulang ke tempat kosnya. Ketika tiba-tiba, ia mendengar suara terengah-engah memanggilnya. “Bu…Bu Ratna!” Ratna menengok, dilihatnya Wiwin berlari ke arahnya, tetapi larinya tidak bisa cepat karena turunan kalau ia tidak hati-hati ia bisa terjatuh.

Ada apa Win?” tanya Ratna setibanya Wiwin.

“Ibu, kalau ada waktu tengoklah Teja” jawab Wiwin dengan nada sedih.

Memangnya Teja kenapa?” Tanya Ratna kaget ia memang tidak mengajar di kelas Teja hari ini. Ia hanya merasa ada yang kurang saat jam istirahat tadi, biasanya ia melihat Teja berdiri tidak jauh dari ruang guru kemudian dengan sesekali ia melihat ke arah Ratna sambil terus memakan jajanannya. Ia sendiri tadinya merasa risih dengan kebiasaan anak muridnya yang mencuri-curi pandang ke arahnya. Namun, akhirnya ia terbiasa ia pikir itu hanya bagian dari sikap anak kampung yang baru lihat ada orang kota di desanya.

Teja sakit Bu

Teja tidak mau bicara, tidak mau makan dan minum, orang tuanya bingung, kejadiannya dimulai dari pulang sekolah kemarin” jelas Wiwin membuat Ratna terpaku seperti terhipnotis.

Di bukunya nama ibu ditulis banyak sekali namun nama ibu dicoret-coret, kayak yang marah gitu Bu, padahal yang saya tau ia begitu bersimpati pada ibu, ibu tau yang nulis Bu Ratna, I love you di kaca jendela yang berdebu itu adalah Teja! Teja pula yang menghapus ia selalu menuruti apa kata-kata ibu bahkan ketika ibu menjelaskan tentang pentingnya jamban, sepulang dari sekolah ia langsung meminta orang tuanya untuk membuat jamban dan selama beberapa hari ia membantu ayahnya membuat jamban sederhana.” papar Wiwin lagi seolah mengerti keheranan Ratna.

Entah karena hatinya yang sudah tumpul karena keinginannya untuk pindah belum tercapai atau karena memang ia sama sekali tidak tertarik dengan kisah Teja yang menurutnya adalah anak yang aneh. Ia hanya menjawab penjelasan Wiwin dengan kalimat ”Baiklah Win, nanti sore kalau ibu sempat ibu akan menengok Teja”. Di mata Ratna Teja bukan anak istimewa yang harus diberi perhatian sikapnya yang tidak bisa diam kalau di kelas dan suka memperhatikan dirinya secara diam-diam dirasa Ratna sebagai sikap kurang ajar yang tidak sepantasnya dilakukan seorang murid pada gurunya. Pernah dengan cara sangat hati-hati ia menegur Teja, namun Teja tidak mau berubah. Ya sudah dasar anak kampung! Begitu pikir Ratna.

Sudah satu minggu Teja tidak sekolah. Ratna jadi penasaran juga sakit apa gerangan Teja. Permintaan Wiwin yang entah sampai berapa kali untuk menengok Teja dan selalu dijawab dengan jawaban yang sama, kali ini mengusik nalurinya.

Setelah istirahat dan sholat dzuhur dengan diantar anak ibu kosnya Ratna pergi menjenguk Teja. Perjalanan ke rumah Teja harus melewati jembatan penyebrangan yang di bawahnya mengalir air sungai yang sangat deras. Jembatan yang terbuat dari rangkaian kayu bergerak-gerak membuat ngilu di setiap persendian Ratna. Tak hanya itu batuan karang yang tajam dan menanjak harus dilewati Ratna dengan sangat hati-hati.

Tidak terasa setelah lebih kurang satu jam perjalanan akhirnya Sampai juga Ratna di rumah Teja. Rumah kecil yang berbilik bambu itu tidak menawarkan sesuatu yang istimewa, namun segala yang ada di rumah itu tertata dengan rapi. Ratna dipersilakan duduk di atas tikar anyaman daun pandan di lantai yang masih tanah merah itu. Ratna melihat Teja terkulai lemas di atas kasur tanpa dipan. Tubuhnya kurus dan pucat.

”Teja, ini bu Ratna” sapa Ratna dengan lembut

Teja yang semula tidur miring menghadap tembok membelokkan tubuhnya, ia berusaha duduk.

”Kalau lemas kamu berbaring saja Teja” pinta Ratna.

Teja berbaring matanya yang sayu tiba-tiba terbelalak dengan penuh berkaca-kaca. Mulutnya bergetar seperti hendak menumpahkan kata-kata yang selama ini terpendam.

”Ada apa Teja, mengapa kamu tidak mau makan? Kalau kamu begini terus kamu nanti bisa ketinggalan pelajaran” ucap Ratna mencoba mencari tahu apa yang menjadi penyebab Teja berubah.

“Maaf Bu, ada hal yang ingin saya tanyakan” jawab Teja sambil mengatur nafasnya.

Bu, apa benar Ibu ingin pindah?” tanya Teja penuh rasa ingin tahu.

Kamu tahu dari siapa?”tanya Ratna kaget.

Apa benar Bu?” tanya Teja lagi tanpa menghiraukan pertanyaan Ratna

Ratna terdiam, jantungnya berdegup kencang. Tak disangkanya akan ada pertanyaan seperti ini. Apa yang harus ia katakannya pada anak yang begitu lugu ini, jangankan untuk menjawab pertanyaan menatap matanya saja Ratna tidak sanggup. Yang mampu dilakukan Ratna hanya mengusap kening anak itu dengan lembut. Ia berharap belaian tangannya dapat menenangkan hati Teja juga hatinya sendiri.

“Ja…” ucap Ratna ingin memulai percakapan, namun belum sempat Ratna melanjutkan Teja langsung berkata,

“Maafkan Teja bila terlalu ingin tahu, tetapi Teja terlanjur sayang sama Ibu. Selama ini Teja nyaris seperti tidak punya ibu yang bisa memberi nasihat.”

Mata Ratna lantas melirik pada sosok wanita yang tadi mempersilakannya masuk dengan tatapan tanda tanya.

”Dia bibi saya Bu” jelas Teja seperti mengerti kebingungan Ratna.

“Ibu saya menjadi TKW di Arab Saudi sejak saya berusia dua tahun. Sampai sekarang ibu saya tidak pernah pulang kirimannya pun sudah terhenti sejak enam tahun yang lalu. Ayah tidak pernah berhasil mencari tahu keberadaan ibu.” Jelas Teja. Kemudian dengan suara yang semakin bergetar Teja melanjutkan pembicaraannya.

“Mungkin Ibu tidak betah tinggal dan mengajar di sini. Padahal kami suka belajar dengan Ibu, walaupun susah tetapi kami ingin bisa. Tolong Bu, beri kesempatan pada kami untuk bisa belajar dengan Ibu lebih lama lagi!” ucap Teja sambil meneteskan air mata tak kuasa menahan perasaannya.

“Maafkan ibu juga Ja, tapi…”

“Tapi Ibu merasa terkekang di sini. Di sini Ibu tidak bisa mewujudkan cita-cita Ibu, begitu kan?”serobot Teja lagi.

Ratna tak mengira muridnya punya keberanian untuk berbicara seperti itu.

“Darimana kamu tahu semua ini Ja, darimana?” desak Ratna sambil mengusap air mata di pipinya, tak kuat menahan haru.

“Maaf Bu, seminggu yang lalu ketika Ibu sedang keluar kelas sebentar, saya buka-buka buku paket Ibu, maksud saya ingin mencontek jawaban soal latihan, tidak sengaja saya melihat tulisan di halaman belakang buku tersebut.” ujar Teja sambil terisak-isak memberi keterangan dengan lugunya. Wajahnya ia tutup dengan kain sarung bututnya penuh rasa bersalah.

“Teja …ooh…” Ratna tak sanggup berkata-kata, ia menggigit bibirnya. Direngkuhnya Teja dengan erat.

Angin dingin tengah malam berhembus lewat lubang angin kamar kos Ratna, membelai lembut pipi Ratna seakan ingin menghapus air mata yang mengalir membasahi mukena yang dikenakannya. Angin itu pula yang seolah-olah membisikkan bahwa ada sesuatu yang sangat berharga selain dari apa yang ia cita-citakan selama ini.

Selasa, 22 April 2008

Perkenalam

Peristiwa yang dialami sehari-hari terlalu sayang untuk dilewatkan
Blog mencatat yang kita alami, kita rasakan dan kita pikirkan
Kreativitas yang ada dieksprsikan