Sabtu, 03 Mei 2008

Cerpen

DIANTARA DUA HARAPAN

Ratna masih bisa tersenyum ketika menerima SK pengangkatannya sebagai CPNS. Meski sama-sama ditempatkan di kabupaten Lebak jelas Ratna lebih beruntung dari Nining yang ditempatkan di sekolah yang terpelosok bahkan nama daerahnya saja tidak ada di peta!

Kenyataannya Ratna menangis ketika pertama kalinya datang ke SLTP Cireunteun Kab. Lebak. Apalagi saat di tengah perjalanan yang kiri kanannya masih hutan, jalannya pun naik-turun, berkelok-kelok, dan berlubang ia membaca tulisan “Kawasan Baduy” . Tak ayal lagi mobil ELF yang bau solarnya sangat menyengat hidung selama di perjalanan membuat tubuh Ratna yang kecil mungil dan duduk sendirian itu terbanting ke kiri ke kanan, ke atas lalu terhenyak, sehingga perutnya terasa sakit.

Abdi ti Bandung nganteurkeun si bungsu bade ngawulang di dieu,” (saya dari Bandung mengantar anak bungsu yang mau mengajar di sini) kata seorang bapak tua kepada kepala sekolah induk tempat Ratna akan bertugas.

“Aku juga anak bungsu, perempuan lagi, dari tempat yang jauh juga, tapi aku tidak diantar….uh sebel!” bisik Ratna dalam hati. Memang orang tua Ratna tidak bisa mengantar karena mereka sedang menunaikan ibadah haji. Keberanian Ratna untuk pergi ke tempat terpencil ini pun karena ingat pesan orang tuanya.

Di mana pun kamu ditempatkan kamu harus bersyukur,” kata mama.

Sedikit sekali orang yang memiliki nasib sebaik kamu, baru lulus kuliah lalu ikut

tes PNS langsung dapat tanpa harus mengeluarkan uang,”tambah mama lagi.

Iya, lagi pula suatu saat kamu bisa mutasi,” kata papa menenangkan.

Dari percakapan antara kepala sekolah dengan bapak tua yang datang dari Bandung

Ratna mengetahui bahwa guru yang dikirim saat itu adalah untuk UGB(Unit Gedung Baru) semuanya berjumlah sebelas orang. Dari sebelas orang itu hanya ada dua orang perempuan yaitu ia dan seseorang yang bernama Narti.

Sejak mulai berdirinya gedung sekolah tersebut dua tahun yang lalu, tenaga yang mengajar adalah guru-guru dari sekolah induk, bahkan kepala sekolahnya pun belum ada.

Dengan perasaan yang masih kacau Ratna dikenalkan dengan bapak-ibu Ru’yat . Di rumah bapak Ru’yat inilah akhirnya Ratna kos. Pak Ru’yat adalah guru SD yang berasal dari Lampung. Pak Ru’yat sudah bertugas di daerah tersebut sejak 15 tahun yang lalu. Kini ia mempunyai istri penduduk asli desa tersebut dan tiga orang anak perempuan, dua yang terakhir adalah anak kembar berusia 3 tahun , yakni Icah dan Nisa.

Maaf Bu, keadaan kami ya seperti ini, tidak seperti rumah Ibu di kota,”kata

bu Ru’yat dengan logat Sundanya.

Ah tidak apa-apa Bu, bisa diterima kos di sini saja saya sudah beruntung, untuk itu saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ibu dan Bapak menerima saya,”jawab Ratna seanggun mungkin, karena ia tak ingin orang lain mengetahui keadaan hatinya yang masih resah.

Terlihat kehati-hatian bu Ru’yat dalam berbicara karena ia terpaksa harus menggunakan bahasa Indonesia yang jarang digunakannya. Ia mungkin takut kalau-kalau Ratna yang bukan orang Sunda itu tidak mengerti apa yang diucapkannya. Ratna memang besar diTangerang, tetapi orang tuanya bukan asli orang Tangerang, papanya orang Padang sedang mamanya orang betawi, jadi wajar bila Ratna tak bisa bahasa Sunda.

Ketika Ratna sedang asik ngobrol dengan bapak dan ibu Ru’yat, tiba-tiba datang seorang anak SD.

Assalamualaikum,” ucap anak SD tersebut.

Waalaikum salam,” jawab semua yang ada di ruangan itu.

Ini Ana, anak kami yang pertama sudah kelas 5 SD,” kata pak Ru’yat memperkenalkan.

Malam harinya, di dalam kamar kos Ratna tak bisa memejamkan matanya, ia merasa terasing. Ia membayangkan seperti apa murid-muridnya nanti. Akan sanggupkah ia menjalankan tugas ini,jauh dari orang tua dan teman-temannya. Matanya kembali berkaca-kaca, untuk kesekian kalinya air mata mengalir di pipinya yang lembut dan menetes membasahi mukena yang masih dikenakannya usai sholat malam.

Siap grak! Berdoa grak!” ujar KM memberi aba-aba.

Selesai grak! Memberi salam grak!” perintah KM lagi

Ratna menjawab salam anak-anak seraya terseyum. Dalam hati Ratna geli kok memimpin doa seperti mau baris-berbaris saja, pakai siap grak segala.

Hari pertama Ratna isi dengan perkenalan, ia mulai mencoba membiasakan anak didiknya untuk mendengar dan berbicara dalam bahasa Inggris. Sulit! Ini adalah pekerjaan sulit baginya yang sudah terbiasa mengajar anak kota yang dari SD banyak yang sudah ikut les bahasa Inggris. Lucunya setiap kali Ratna meminta muridnya mencoba meniru ucapannya, muridnya hanya tertawa malu-malu.

Ratna sedang asyik membaca saat pintu kamar kosnya diketuk.

“Bu guru,aya rencangannana eh ada teman ibu, itu sudah menunggu di ruang tamu,” ucap bu Ru’yat memberitahu sambil tak lupa tersenyum.

Ratna bergegas ke ruang tamu. Di sana sudah berkumpul rekan sejawatnya yang mayoritas laki-laki. Ia pun segera duduk samping bu Narti.

Kumaha damang?” sapa pak Usep.

Aduh jangan pakai bahasa Sunda dong, aku tidak mengerti nih!”, jawab Ratna

setengah merengek, mengundang tawa yang lainnya.

Kumaha damang artinya bagaimana keadaan Ibu apa baik-baik saja?” jelas bu Narti yang asli orang Lebak

Iya ,jangan pakai bahasa Sunda toh, aku juga ndak ngerti” kata pak Jaya dengan logat Jawanya yang medok

Dari hasil bincang-bincang di tempat kos Ratna yang untuk selanjutnya sering dijadikan tempat berkumpul karena lokasinya yang paling dekat dengan sekolah, terbentuklah struktur organisasi sekolah sementara sambil menunggu datangnya kepala sekolah yang definitif. PKS yang terbentuk semuanya dipegang rekan-rekan Ratna yang laki-laki. Ratna dan Narti tak begitu acuh atas kedudukan tersebut, mereka asik dengan pikiran mereka sendiri yaitu bagaimana caranya agar bisa pindah secepatnya!

Usai sholat maghrib Ratna ke luar dari kamarnya bergabung dengan keluarga Ru’yat menonton acara televisi. Ratna dan bu Ru’yat duduk di bawah sementara Ana dengan asiknya duduk di kursi sambil mengangkat kaki.

Ana coba duduk di sini dekat ibu! Kan enak duduk sama-sama di bawah,” ajak Ratna pada Ana.

Mendengar itu mata bu Ru’yat lantas melihat ke arah Ratna kemudian dengan tersenyum malu berkata pada anaknya” Ana ka dieu diukna di dieu tah sami-sami di handap”.

Mungkin kebiasaan mereka seperti ini, ia ingat betul kalau orang tuanya melarang keras duduk di atas bila ada orang yang lebih tua duduk di bawah.

Bagaimana Bu, Ibu kerasan tinggal di sini?” tanya pak Ru’yat ketika datang dan bergabung menonton TV.

Ratna tidak menjawab, ia hanya tersenyum Ratna tidak bisa membohongi orang lain apalagi pada dirinya sendiri, makanya ia lebih memilih tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Ratna menikmati perjalanannya ke sekolah. Dilangkahkan kakinya dengan santai

menelusuri jalan yang penuh lubang dan mendaki. Ditariknya nafas dalam-dalam sejuk

rasanya, bau dedaunan menyegarkan. Sesekali ia menyapa penduduk yang berpas-pasan dengannya. Tangannya memeluk dadanya ia kedinginan dan memang ia tak kuat dingin bahkan alergi dingin, maka tak heran bila hidungnya sering tersumbat bila sudah kedinginan. Tapi pagi itu hidungnya tidak seperti biasanya hidungnya tidak tersumbat.

Bila melihat pemandangan alam pedesaan yang begitu indah, hijau menyejukkan rasanya ia tak ingin cepat-cepat pindah. Sebaliknya bila ia ingat bahwa keinginannya untuk melanjutkan kuliah jadi terhambat, karena letak daerah yang begitu jauh dengan gaji yang minim pula, juga bila ia ingat betapa sulitnya mengajar pelajaran bahasa Inggris di daerah ini rasanya ia ingin segera pindah!

Lamunannya terhenti ia melompat kaget, rupanya ia menghindari kantung plastik yang terserak di jalan, tapi bukan tanpa alasan ia melompat menghindari katung plastik yang sebagian isinya berserakan tersebut. Ratna tidak akan sekaget ini bila hanya melihat katung plastik, yang membuatnya kaget adalah isi kantung plastik tersebut yaitu kotoran manusia! Ratna menengok ke atas ada rumah di sana, mungkin orang yang tinggal di sanalah yang membuang kotoran itu seenaknya. Selama ini memang Ratna sudah tahu bahwa masih banyak penduduk yang tidak mempunyai jamban, mereka biasa membuang kotoran di sungai atau di hutan.

Ratna jadi ingat bahwa materi yang akan disampaikannya hari ini bertema kesehatan lingkungan dan ia ingat betul wacana yang akan diberikannya adalah mengenai pembuatan jamban! Cocok sekali! Ratna jadi tersenyum sendiri.

Memang sudah menjadi kebisaan Ratna tiap kali mengajar ia tidak hanya mengajar bagaimana berbahasa Inggris, melainkan juga memberikan informasi-informasi tertentu yang relevan antara tema wacana dengan kehidupan sehari-hari.

Ketika ingin memasuki ruangan kelas ia tersenyum melihat kaca jendela yang penuh debu itu justru ditulisi dengan kata-kata”Bu Ratna I love you”. Siapa anak yang iseng menorehkan tangannya ke kaca yang penuh debu itu pikir Ratna.

Good morning!” sapa Ratna sebelum memulai pelajaran.

Good morning maam!” jawab anak-anaksambil cekikikan pelan-pelan.

Mereka masih merasa lucu menggunakan bahasa Inggris, bahkan baru sebagian yang dapat melafalkan kata tersebut dengan tepat.

Anak-anak tema pelajaran kita pada hari ini adalah Environment Health yang artinya kesehatan lingkungan. Sebelum kita lanjutkan pelajaran ibu ingin kalian melihat kaca jendela kelas. Kontan anak itu menengok ke arah jendela yang berdebu di sana terdapat tulisan “Bu Ratna, I Love you”. Ibu mengucapkan terima kasih pada yang menulis tulisan tersebut, namun ibu lebih berterima kasih lagi pada anak yang mau membersihkan kaca jendela itu. Bukankah kebersihan adalah sebagian dari iman?”

Anak-anak pun melihat ke arah jendela, kemudian saling tuding siapa yang menulis di kaca jendela tersebut, membuat gaduh suasana. Ratna pun segera menenangkan mereka. Di tengah pembelajaran itu Ratna menyampaikan betapa pentingnya jamban untuk kesehatan.

Coba kalau kalian bayangkan bila ada lalat hinggap di kotoran yang kamu buang sembarangan kemudian lalat itu hinggap di makanan yang kamu makan?” dengan gaya yang lucu Ratna melemparkan pertanyaan tersebut.

“Iiiiiiiiiiih” jawab anak-anak itu serentak sambil cekikikan dan menutup hidung dan mulutnya.

Keluar dari kelas Ratna memasuki ruang guru langsung duduk dengan kepala tertunduk.

Bu Ratna ada apa?” tanya pak Dudi yang berasal dari Bekasi.

Sudah tidak usah dipikirkan,” kata pak Ahmad sok tahu.

Saya bingung mengajar mereka….sulit sekali! Saya merasa gagal”, jawab Ratna hampir menangis.

Aduh Bu Ratna jangan pesimis begitu, pelan-pelan saja, jangankan bahasa Inggris saya yang mengajar bahasa Indonesia saja sulit , karena bahasa sehari-hari mereka menggunakan bahasa Sunda”, kata pak Usep.

Walaupun sudah dihibur seperti itu ia tetap saja merasa tidak nyaman.

Pada kesempatan pulang ke Tangerang Ratna mengungkapkan keinginannya untuk berhenti mengajar di desa terpencil itu pada kedua orang tuanya yang baru pulang dari tanah suci.

Ma, Ratna tidak kuat Ma, capek!” kata Ratna.

Sabar Ratna, apa-apa juga harus sabar” jawab mama.

Tapi untuk apa?” tanya Ratna.

Gaji kecil, jauh lagi! Di sini saya bisa mengajar di sekolah yang bonafit, bisa memberi les privat, sekarang saya bisa apa mengandalkan gaji PNS?” tambah Ratna dengan sedikit emosi.

Kamu harus ingat Ratna, setiap sesuatu yang kita kerjakan dengan ikhlas, insyaallah akan ada manfaatnya” Tambah mama dengan mata berkaca-kaca.

Kuno! Begitu pikir Ratna, namun lagi-lagi ia harus mengalah pada orang tuanya itu.

Minggu siang Ratna diantar papanya ke daerah tempat ia mengajar. Ratna selalu berangkat hari minggu agar hari seninnya ia tidak terlalu lelah, itu pun atas saran mamanya, padahal ia ingin berangkat hari senin subuh agar ia masih bisa tidur di kamarnya sendiri satu malam lagi. Dalam perjalanan Ratna lebih banyak diam pikirannya berkecamuk. Banyak cita-cita dan harapan di dalam benaknya yang terhambat sejak ia ditugaskan di daerah yang terpencil ini. Salah satunya adalah keinginannya melanjutkan studi ke jenjang S2. Semula ia berharap bisa kuliah sambil bekerja, karena ia tahu tidak mungkin mengandalkan biaya kuliah S2 pada orang tuanya. Tetapi sekarang harapannya seolah-olah tak mungkin terwujud, tak mungkin ia bisa kuliah sambil bekerja di tempat terpencil ini dengan gaji yang minim.

Esok harinya Ratna berangkat ke sekolah dengan mata yang masih bengkak karena menangis semalaman. Di kelas ia berusaha menyembunyikan kegalauan hatinya. Namun, bengkak di matanya tak bisa membohongi anak didiknya. Banyak di antara anak didiknya terutama yang perempuan saling berbisik.

Sst… tingal soca bu Ratna bareuh!(lihat mata bu Ratna bengkak)” Bisik Itoh pada teman sebangkunya.

Muhun, aya naon nyak? (iya ada apa ya?)” tanya Wiwin berbisik pula

Teuing, tapi hawar-hawar bu Ratna bade ngalih! ( tidak tahu, tetapi kabarnya bu Ratna mau pindah)” bisik Itoh lagi.

Piraku, ceuk saha?(masa iya, tahu dari mana?)” tanya Wiwin lagi.

Ceuk si Ana, budak pak Ru’yat(kata si Ana, anaknya pak Ru’yat)” jawab Itoh.

Ratna merasa tak enak, ia merasa sedang diperbincangkan oleh murid-muridnya yang masih lugu. Tak seharusnya mereka tahu apa yang sedang terjadi dengannya pikir Ratna. Ratna pun berusaha menghidupkan kembali suasana kelas, agar murid-muridnya tidak terlalu memperhatikan bengkak di matanya lagi.

Ok now look at this words, listen and repeat after me, please! pinta Ratna sambil menunjuk ke papan tulis, dan rupanya murid-murid Ratna sudah terbiasa dengan perintah seperti ini.. Upaya Ratna berhasil, memang selama ini murid-muridnya senang bila diminta mengulangi kata-kata berbahasa Inggris yang diucapkannya, walaupun kadang-kadang masih salah juga. Seperti ketika Ratna mengatakan “yu” untuk “you” murid-muridnya tetap saja ada yang mengatakan yo-wu. Hal ini pula yang membuat Ratna geli ingin tertawa sekaligus kesal karena kok susah benar mengajarkannya.

Ratna tengah bergegas pulang ke tempat kosnya. Ketika tiba-tiba, ia mendengar suara terengah-engah memanggilnya. “Bu…Bu Ratna!” Ratna menengok, dilihatnya Wiwin berlari ke arahnya, tetapi larinya tidak bisa cepat karena turunan kalau ia tidak hati-hati ia bisa terjatuh.

Ada apa Win?” tanya Ratna setibanya Wiwin.

“Ibu, kalau ada waktu tengoklah Teja” jawab Wiwin dengan nada sedih.

Memangnya Teja kenapa?” Tanya Ratna kaget ia memang tidak mengajar di kelas Teja hari ini. Ia hanya merasa ada yang kurang saat jam istirahat tadi, biasanya ia melihat Teja berdiri tidak jauh dari ruang guru kemudian dengan sesekali ia melihat ke arah Ratna sambil terus memakan jajanannya. Ia sendiri tadinya merasa risih dengan kebiasaan anak muridnya yang mencuri-curi pandang ke arahnya. Namun, akhirnya ia terbiasa ia pikir itu hanya bagian dari sikap anak kampung yang baru lihat ada orang kota di desanya.

Teja sakit Bu

Teja tidak mau bicara, tidak mau makan dan minum, orang tuanya bingung, kejadiannya dimulai dari pulang sekolah kemarin” jelas Wiwin membuat Ratna terpaku seperti terhipnotis.

Di bukunya nama ibu ditulis banyak sekali namun nama ibu dicoret-coret, kayak yang marah gitu Bu, padahal yang saya tau ia begitu bersimpati pada ibu, ibu tau yang nulis Bu Ratna, I love you di kaca jendela yang berdebu itu adalah Teja! Teja pula yang menghapus ia selalu menuruti apa kata-kata ibu bahkan ketika ibu menjelaskan tentang pentingnya jamban, sepulang dari sekolah ia langsung meminta orang tuanya untuk membuat jamban dan selama beberapa hari ia membantu ayahnya membuat jamban sederhana.” papar Wiwin lagi seolah mengerti keheranan Ratna.

Entah karena hatinya yang sudah tumpul karena keinginannya untuk pindah belum tercapai atau karena memang ia sama sekali tidak tertarik dengan kisah Teja yang menurutnya adalah anak yang aneh. Ia hanya menjawab penjelasan Wiwin dengan kalimat ”Baiklah Win, nanti sore kalau ibu sempat ibu akan menengok Teja”. Di mata Ratna Teja bukan anak istimewa yang harus diberi perhatian sikapnya yang tidak bisa diam kalau di kelas dan suka memperhatikan dirinya secara diam-diam dirasa Ratna sebagai sikap kurang ajar yang tidak sepantasnya dilakukan seorang murid pada gurunya. Pernah dengan cara sangat hati-hati ia menegur Teja, namun Teja tidak mau berubah. Ya sudah dasar anak kampung! Begitu pikir Ratna.

Sudah satu minggu Teja tidak sekolah. Ratna jadi penasaran juga sakit apa gerangan Teja. Permintaan Wiwin yang entah sampai berapa kali untuk menengok Teja dan selalu dijawab dengan jawaban yang sama, kali ini mengusik nalurinya.

Setelah istirahat dan sholat dzuhur dengan diantar anak ibu kosnya Ratna pergi menjenguk Teja. Perjalanan ke rumah Teja harus melewati jembatan penyebrangan yang di bawahnya mengalir air sungai yang sangat deras. Jembatan yang terbuat dari rangkaian kayu bergerak-gerak membuat ngilu di setiap persendian Ratna. Tak hanya itu batuan karang yang tajam dan menanjak harus dilewati Ratna dengan sangat hati-hati.

Tidak terasa setelah lebih kurang satu jam perjalanan akhirnya Sampai juga Ratna di rumah Teja. Rumah kecil yang berbilik bambu itu tidak menawarkan sesuatu yang istimewa, namun segala yang ada di rumah itu tertata dengan rapi. Ratna dipersilakan duduk di atas tikar anyaman daun pandan di lantai yang masih tanah merah itu. Ratna melihat Teja terkulai lemas di atas kasur tanpa dipan. Tubuhnya kurus dan pucat.

”Teja, ini bu Ratna” sapa Ratna dengan lembut

Teja yang semula tidur miring menghadap tembok membelokkan tubuhnya, ia berusaha duduk.

”Kalau lemas kamu berbaring saja Teja” pinta Ratna.

Teja berbaring matanya yang sayu tiba-tiba terbelalak dengan penuh berkaca-kaca. Mulutnya bergetar seperti hendak menumpahkan kata-kata yang selama ini terpendam.

”Ada apa Teja, mengapa kamu tidak mau makan? Kalau kamu begini terus kamu nanti bisa ketinggalan pelajaran” ucap Ratna mencoba mencari tahu apa yang menjadi penyebab Teja berubah.

“Maaf Bu, ada hal yang ingin saya tanyakan” jawab Teja sambil mengatur nafasnya.

Bu, apa benar Ibu ingin pindah?” tanya Teja penuh rasa ingin tahu.

Kamu tahu dari siapa?”tanya Ratna kaget.

Apa benar Bu?” tanya Teja lagi tanpa menghiraukan pertanyaan Ratna

Ratna terdiam, jantungnya berdegup kencang. Tak disangkanya akan ada pertanyaan seperti ini. Apa yang harus ia katakannya pada anak yang begitu lugu ini, jangankan untuk menjawab pertanyaan menatap matanya saja Ratna tidak sanggup. Yang mampu dilakukan Ratna hanya mengusap kening anak itu dengan lembut. Ia berharap belaian tangannya dapat menenangkan hati Teja juga hatinya sendiri.

“Ja…” ucap Ratna ingin memulai percakapan, namun belum sempat Ratna melanjutkan Teja langsung berkata,

“Maafkan Teja bila terlalu ingin tahu, tetapi Teja terlanjur sayang sama Ibu. Selama ini Teja nyaris seperti tidak punya ibu yang bisa memberi nasihat.”

Mata Ratna lantas melirik pada sosok wanita yang tadi mempersilakannya masuk dengan tatapan tanda tanya.

”Dia bibi saya Bu” jelas Teja seperti mengerti kebingungan Ratna.

“Ibu saya menjadi TKW di Arab Saudi sejak saya berusia dua tahun. Sampai sekarang ibu saya tidak pernah pulang kirimannya pun sudah terhenti sejak enam tahun yang lalu. Ayah tidak pernah berhasil mencari tahu keberadaan ibu.” Jelas Teja. Kemudian dengan suara yang semakin bergetar Teja melanjutkan pembicaraannya.

“Mungkin Ibu tidak betah tinggal dan mengajar di sini. Padahal kami suka belajar dengan Ibu, walaupun susah tetapi kami ingin bisa. Tolong Bu, beri kesempatan pada kami untuk bisa belajar dengan Ibu lebih lama lagi!” ucap Teja sambil meneteskan air mata tak kuasa menahan perasaannya.

“Maafkan ibu juga Ja, tapi…”

“Tapi Ibu merasa terkekang di sini. Di sini Ibu tidak bisa mewujudkan cita-cita Ibu, begitu kan?”serobot Teja lagi.

Ratna tak mengira muridnya punya keberanian untuk berbicara seperti itu.

“Darimana kamu tahu semua ini Ja, darimana?” desak Ratna sambil mengusap air mata di pipinya, tak kuat menahan haru.

“Maaf Bu, seminggu yang lalu ketika Ibu sedang keluar kelas sebentar, saya buka-buka buku paket Ibu, maksud saya ingin mencontek jawaban soal latihan, tidak sengaja saya melihat tulisan di halaman belakang buku tersebut.” ujar Teja sambil terisak-isak memberi keterangan dengan lugunya. Wajahnya ia tutup dengan kain sarung bututnya penuh rasa bersalah.

“Teja …ooh…” Ratna tak sanggup berkata-kata, ia menggigit bibirnya. Direngkuhnya Teja dengan erat.

Angin dingin tengah malam berhembus lewat lubang angin kamar kos Ratna, membelai lembut pipi Ratna seakan ingin menghapus air mata yang mengalir membasahi mukena yang dikenakannya. Angin itu pula yang seolah-olah membisikkan bahwa ada sesuatu yang sangat berharga selain dari apa yang ia cita-citakan selama ini.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hebat bu, ini kejadian dimana dan tahun brp?
Saya suka euy.