Sabtu, 03 Mei 2008

SERATUS HARI

Nonon tak pernah menyangka kalau ciuman yang diberikan pada tangan, kening, dan kedua belah pipi ibunya yang biasa disapanya dengan sebutan emak pada Senin itu merupakan ciuman yang bisa ia berikan untuk yang terakhir kalinya. Batinnya selalu menyesali mengapa ia tak pernah sampai mencium telapak kaki emak selagi emaknya masih sadar. Memang ia sempat mencium kaki emak tapi ciuman itu baru ia berikan saat kondisi emak sedang koma dua hari sebelum menghempaskan nafas terakhirnya.

Penyakit diabet yang menyerang emak tak kenal ampun. Padahal selama ini emak tak pernah terlihat sakit. Hal ini pula yang membuat Nonon menyesal mengapa ia tak pernah memperhatikan kesehatan orang tuanya, ia terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Akhir-akhir ini memang tubuh emak terlihat mengurus, namun ia dan kakak-kakaknya berpikir bahwa diet yang dilakukan emaknya berhasil. Ternyata yang terjadi sebenarnya adalah penyakit diabet tengah menggrogoti tubuh emak yang subur.

Nonon juga tak pernah mengira kalau anjuran yang ia sampaikan pada kakaknya untuk membawa emak check up ke rumah sakit malah memaksa emak masuk ke ruang ICU.

Selasa pagi dada emak sesak. Nonon sedih ketika ia mendapatkan kabar kondisi emak yang seperti ini. Ia jadi semankin gelisah karena memang dari semalam ia tidak bisa tidur, perasaannya sangat tidak enak. Semalaman ia terbayang-bayang wajah emak yang terlihat jauh lebih tua dari semestinya, belum lagi ia juga merasa adanya keanehan, hatinya bertanya-tanya mengapa kemarin emak selalu ingin sholat, bolak-balik ke kamar mandi untuk berwudhu.

”Mak, mau sholat ape gini ari?” tanya Nonon saat melihat emaknya selesai berwudhu.

”Sholat Ashar” jawab emak lirih.

”Lho Mak, ini kan baru jam setengah dua belon waktunye pan baru aje emak sholat Lohor” jelas Nonon pada emaknya.

Emak diam saja, matanya semakin sayu. Tak lama kemudian emak sudah mengambil wudhu lagi, lalu dijelaskan kembali oleh Nonon bahwa waktu Ashar belum tiba. Begitu terus sampai benar-benar waktu Sholat Ashar tiba. Tak terasa air mata Nonon terus mengalir ia jadi ingat juga bagaimana neneknya dulu menjelang ajalnya menunjukkan perilaku yang sama seperti emaknya. Namun demikian, Nonon berusaha menepis firasat buruk yang bersarang di dadanya.

Pukul setengah delapan telepon genggam Nonon berdering. Bunyinya begitu mengagetkan, jantungnnya berdegup kecang. Kak Imah! Buru-buru Nonon mengangkat telepon dari kakaknya itu.

”Non, emak masuk UGD, dan dokter meminta persetujuan dari keluarga untuk merawat emak di ruang ICU karena kondisinya kritis, bagaimana menurut Non?” Suara kak Imah terdengar putus-putus diselingi dengan suara sesegukan tangis.

”Kalau memungkinkan, baiknya emak dibawa ke rumah sakit yang bisa menerima Askes saja” ujar Nonon setenang mungkin.

”Emak nggak mau” jawab kak Imah panik

”Ya sudah lakukan saja yang terbaik, bentar lagi Non ke sana”

Nonon langsung menghubungi kakak-kakaknya yang berada di luar kota, mengabarkan keadaan emak. Kemudian ia izin pada kepala sekolah untuk pulang karena emaknya sakit.

Perjalanan yang melelahkan tak dirasakan oleh Nonon. Sesampainya di rumah sakit Nonon tak dapat menahan air mata. Terlihat mata babe memerah bekas tangisan, demikian juga dengan kak Imah.

”Apus aer mata Non! Emak pasti sedih kalau lihat Non menangis” pinta bapaknya yang biasa disapa dengan panggilan babe, pada Nonon.

Setelah berhasil menenangkan diri Nonon menengok emaknya yang terlihat gelisah. Di ruang UGD yang ber-AC itu terdapat peralatan medis yang cukup banyak yang Nonon sendiri tidak begitu mengerti masing-masing penggunaannya. Nonon hanya tahu tabung yang berada di sebelah kiri emak adalah tabung oksigen. Nafas emak masih tersengal-sengal walaupun sudah dibantu dengan oksigen. Bibirnya kering dan pucat.

”Aus, aus !” erang emak pada suster yang menjaga.

Dokter tidak membolehkan terlalu banyak minum, kasihan emak pasti ia sangat kehausan. Terlihat suster sibuk menangani emak Nonon melihat bagaimana tak lama kemudian jari emak ditusuk dengan jarum kemudian darah pun keluar. Darah itu diambil kemudian diletakan di sebuah alat kemudian alat yang ada darahnya itu ditaruh di sebuah alat berbentuk kotak mungkin itu adalah mesin pemeriksa darah. Jari emak yang lainnya dijepit dengan penjepit yang mirip dengan jepitan jemuran, tetapi ada lampunya entah untuk apalagi.

Nonon tidak banyak bertanya, ia takut dikatakan cerewet. Jangan-jangan bila ia cerewet nanti emak tidak diberikan perawatan yang baik, begitu pikirnya. Sama dengan kebanyakan orang Indonesia lainnya selalu ketakutan dan malu untuk bertanya.

”Tenang ya Mak, bentar lagi juga emak sembuh” tutur Nonon mencoba menghibur emak sambil sesekali meneteskan air di bibir emak.

Nonon mendekati kakaknya, ia tak sabar ingin tahu penyakit apa yang membuat emak harus dipasangi berbagai kabel di tubuhnya.

”Sebenernye Emak kenape?” tanya Nonon penasaran.

”Gula, gula emak sampai 600” jelas kak Imah

”Astagfirullah” ucap Nonon kaget.

Tak lama kemudian, dari ruang UGD emak dibawa ke ruang ICU. Sebelumnya dokter sudah memberitahu emak, bahwa nanti lebih banyak lagi peralatan yang akan digunakan, mungkin dokter merasa perlu menyampaikan hal itu pada pasien agar pasien tidak kaget.

Waktu berjalan cepat sekali Nonon diminta kak Imah pulang duluan untuk mengambil tabungan di bank. Walaupun Nonon dan kakaknya berusaha untuk tidak membicarakan masalah biaya di depan babe, namun babe tetap ingin tahu.

”Non diminta ambil uang?” tanya babe.

”He eh” jawab Nonon singkat.

”Memangnya Non disuruh ambil berapa? Kan tadi udah nyetor uang 7 juta”

”Iye, tapi sekarang dokter minta kite nyiapin empat juta lagi soalnye ade obat yang masih harus dibeli” jelas Nonon.

Babe terdiam air matanya meleleh membasahi pipinya yang sudah berkerut. Bibirnya gemetar. Sorot matanya menunjukkan kegelisahan yang bercampur kesedihan, ah tak tega Nonon melihatnya.

”Memangnya Non punya uang sebanyak itu?”

”Insyaallah ada”Ucap Nonon menenangkan.

”Masyaallah ni rumah sakit bener-bener nyari duit. Kagak liat orang lagi kesusahan”

”Sudahlah Be, Babe nggak usah bingung insyaallah ada jalan kluwarnye”

”Iye paling kalo ampe mentok kite jual aje rume kite ye”

”Yang penting emak sembuh”

Nonon sangat sedih melihat bapaknya sampai memutuskan akan menjual rumah untuk biaya pengobatan emak. Bagaimanapun babe adalah sosok suami yang sangat mencintai istri. Mungkin hati kecilnya sedih tidak bisa berbuat apa-apa untuk istri tercinta, padahal istrinya sedang membutuhkan perawatan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara ia tak punya apa-apa kecuali rumah yang sekarang ditempatinya, rumah di mana Nonon dan ketiga kakak-kakaknya dibesarkan.

Akhir-akhir ini kehidupan rumah tangga memang hanya mengandalkan gaji emak sebagai guru PNS ditambah dengan uang dari anak-anak emak yang sudah bekerja. Makanya sejak dari awal Nonon sudah meminta kak Imah untuk membawa emak ke rumah sakit yang mau menerima Askes. Namun, apa boleh buat, emak telanjur percaya bahwa pengobatan di rumah sakit Moris sangat bagus seperti yang ia dengar dari sahabatnya, bu Mamay.

Rumah sakit Moris merupakan rumah sakit besar di daerah Cileduk. Lokasinya pun tidak begitu jauh dari tempat tinggal keluarga Nonon. Di rumah sakit ini segala sesuatunya terlihat mewah, waktu tadi baru masuk saja Nonon sempat terpesona dalam hati ia bergumam ”Ini rumah sakit apa hotel kok bagus amat?”. Satu kekurangan rumah sakit swasta ini adalah tidak mengenal amal. Mata mereka seakan buta oleh keadaan pasien dan keluarga pasien. Mereka tidak akan mengizinkan pasien dirawat bila tidak bisa menyetorkan uang jaminan. Menyedihkan memang, namun kenyataannya memang seperti itu.

Babe dulu pernah berwiraswasta, namun telah lama usahanya bangkrut karena kehabisan modal. Bantuan dari anak yang bisa diharapkan hanya dari Nonon dan kak Imah yang belum berkeluarga. Kakak Nonon yang pertama seorang laki-laki yang kini sudah berumah tangga, ia hidup hanya dengan menjadi supir antar jemput anak sekolah. Uang yang didapatnya hanya cukup untuk istri dan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Kakaknya yang nomor dua seorang perempuan juga sudah berkeluarga, tinggal di luar kota. Kehidupannya lumayan namun tampaknya gaya hidup telah menguras seluruh gajinya sehingga jangankan untuk orang tua, untuk menabungpun tidak bisa. Paling sesekali kalau ia lagi ingat ia akan memberi pada babe atau emak, terutama kalau hari raya Idul fitri.

Nonon adalah anak paling kecil ia sangat dekat dengan emak segala yang diajarkan oleh emak ia jalankan termasuk anjuran untuk biasa hidup hemat. Gajinya yang belum seberapa itu ia pos-poskan untuk orang tua, untuk makan atau jajan, untuk transport, untuk bayar kos, dan sisanya ditabung. Karena begitu dekatnya tak ada rahasia yang sembunyikan Nonon pada emaknya. Emak tahu semua perkembangan Nonon, emak tahu kapan pertama kali Nonon jatuh cinta, Emak juga pasti tahu apa yang sedang menjadi keinginan Nonon. Dan tiap kali Nonon minta didoakan atas keinginannya itu emak selalu menjawabnya, ”Aamiin, doa emak nggak ada putus-putusnye!”

Kak Imah, kakak persis di atas Nonon, sebenarnya ia orang yang boros tapi perhatiannya pada orang tua tidak pernah kurang. Dan hanya ia yang selama ini menemani emak dan babe di rumah, karena Nonon harus Kos. Nonon terlalu lelah untuk pulang-pergi ke Lebak tempatnya melaksanakan tugas sebagai guru PNS.

Tiba-tiba lamunan Nonon dibuyarkan oleh suara menggelegar disertai kilatan cahaya di langit. Hujan belum turun, namun kilat halilintar sudah terdengar. Langit mendung demikian juga hatinya yang selalu teringat akan emak. Jarum jam menunjukkan pukul tiga sore, namun seperti sudah pukul tujuh malam, gelap mencekam. Nonon kembali melanjutkan kegiatan membaca buku yang baru dibelinya, sebuah buku berjudul ”Leadership Quotient” karya Martha Tilaar. Suara hallilintar terdengar lagi kali ini disertai jatuhnya air hujan dengan derasnya.

Pagi itu Nonon berangkat ke tempatnya mengajar seperti biasa, hanya gerak langkahnya saja yang agak berbeda, kurang semangat. Nonon yang centil nyaris tak nampak lagi, sepeninggal emak ia memang agak berubah. Ia langkahkan kakinya dengan santai menyusuri jalan kecil berbatu dan menanjak yang di kanan kirinya masih hutan. Nonon selalu menikmati perjalanan ke sekolah, ia menghirup napas dalam-dalam, segar rasanya, ia benar-benar menikmati bau dedaunan di pagi hari. Ia memang cinta dengan desa ini karena kampung halamannya yang walaupun masih disebut kampung tapi sudah terjamah dengan teknologi yang menebarkan asap polusi. Kampungnya memang terletak di pinggiran kota sehingga sulit untuk terhindar dari dampak kemajuan kota.

Biasanya ia tak bisa menyembunyikan keriangan hatinya menyambut pagi. Tangannya direntangkan hingga angin dingin membelai lembut tangannya, menyusup terus hingga terasa sampai ke ketiaknya. Jalannya juga setengah berjingkrak, kadang kalau suasana sepi sekali, ia tak segan-segan melepas sepatunya dan berjalan dengan kaki telanjang. Ia nikmati sentuhan batuan dan kerikil menusuk saraf-saraf kakinya, ia rasakan aliran darah yang menghangat diseputar kakinya.

Kalau kebetulan ia bertemu dengan penduduk desa, ia akan memasang senyum lebar-lebar, dan orang desa itu pun membalas senyumannya. Sebagian dari mereka mengerti dengan tingkah Nonon sebagai orang yang sedang menikmati alam pedesaan, sebagian lagi menatap dengan tatapan keheranan.

Sampai di sekolah ia disambut oleh beberapa anak murid yang sedang bercengkrama di halaman sekolah, mereka pun berlarian mendatanginya, ia julurkan tangannya, anak-anak mencium tangan Nonon dengan hormat. Tak jarang tangannya yang satunya lagi membelai kepala anak didiknya dengan rasa sayang yang tulus.

”Pagi Bu!” sapa mereka.

”Pagi” jawab Nonon dengan ramah.

Nonon berusaha menyembunyikan kesedihan hatinya. Biaya rumah sakit memang tidak sampai menyebabkan babe menjual rumah, namun biaya tahlilan telah membuat babe berhutang kesana kemari. Tabungan Nonon sudah ludes, ia tak bisa lagi membantu. Ia ingat percakapannya dengan babe kemarin sebelum berangkat ke desa ini.

”Non, seratus harian emak minggu depan, kite butuh biaya lagi”

”Be, Non udah nggak punya duit lagi. Udahlah Be, kite nggak usah ngadain seratus harian emak, kite eje sekeluarga doain emak”

“Nggak bisa Non! Ape kate orang nanti?”

Nonon bisa memahami apa yang ada dipikiran babe. Pastilah babe takut menjadi omongan orang kalau tidak bisa menyelenggarakan seratus harian emak. Padahal Nonon sudah berusaha menjelaskan bahwa tradisi seratus harian tidak ada ajarannya dalam agama.

”Be, utang kite ame pak Jali dan pak Tobing aje belum lunas dibayar, kemane lagi kite cari duit?”

”Itulah Non, kemaren babe udah coba hubungin pak Daud katenye die minat ame nih rumah”

“Ape? Ya Allah, terus babe ame kak Imah mau tinggal di mane?”

“Kite beli aje rumah yang kecilan mudah-mudahan ade”

Nonon hanya bisa menarik napas panjang. Babe pasti lebih berat pada tradisi, babe tak sanggup menanggung malu dan mendengar omongan orang mengenai dirinya yang tidak bisa menyelenggarakan seratus harian istrinya.. Memang sulit melawan tradisi.

Ketika Nonon memasuki ruang guru teman-teman menyapanya hangat. Sudah tiga hari ia tak berjumpa dengan teman-temannya, biasanya ia pulang hari Sabtu, tetapi Minggu kemarin ia pulang hari Kamis karena tidak enak badan.

”Waduh orang kota baru kelihatan lagi nih”sapa pak Opik guru olah raga.

”Ah, Pak opik bisa aja, kangen ya?” Nonon membalas dengan canda.

” Eh, yang kangen bukan saya saja, tadi bapak kepala sekolah baru datang juga sudah mencari Bu Nonon” sahut pak Opik sambil melirik ke ruang kepala sekolah.

” Ibu diminta menemuinya di ruangannya” jelas pak Asep guru bahasa Sunda.

Nonon baru saja mau menemui kepala sekolah, ketika tiba-tiba bapak kepala sekolah sudah ada di hadapannya. Mungkin ia sudah mendengar suara Nonon dari ruangannya.

”Bagaimana Bu Nonon, sehat?” sapa bapak kepala Sekolah

”Alhamdulillah, Pak” jawab Nonon.

”Untung Ibu datang hari ini, sudah dari hari Jumat saya mencoba hubungi nomor HP Ibu tapi tidak ada jawaban demikian juga dengan telepon rumah, padahal waktunya mendesak”

Ya memang sekarang ia akan sulit dihubungi bagaimana tidak Hpnya sekarang sudah dijual, dan telepon rumah sudah diblokir karena sudah tiga bulan tidak bayar, semuanya terjadi untuk menutupi biaya tahlilan yang sangat besar. Memang tradisi tahlilan di daerahnya sangat memakan biaya, karena orang yang datang hampir seluh isi kampung ditambah beberapa orang dari kampung tetangga, semuanya harus diberi besek (berisi nasi dan lauk pauk) dan amplop yang isinya sepuluh ribu rupiah. Belum lagi untuk bayar kyai atau ustadnya. Padahal kondisi keuangan sedang minim karena terkuras untuk biaya emak di rumah sakit.

”Memangnya ada apa Pak ?” tanya Nonon penasaran

”Bu Nonon masuk tiga besar dalam pemilihan guru berprestasi tingkat propinsi, dan grand finalnya besok hari Selasa di ruang serba guna Gedung Pemerintahan Propinsi Banten pukul tujuh Bu Nonon sudah harus ada di sana”

”Alhamdulillah!” hanya itu yang keluar dari mulut Nonon matanya berkaca-kaca menahan haru. Ia sendiri nyaris tidak ingat kalau ia tengah diseleksi untuk menjadi guru berprestasi tingkat propinsi setelah lulus seleksi tingkat kabupaten.

Nonon pergi ke Pusat Pemerintahan Propinsi dengan diantar oleh Aceng keponakan ibu kos, yang sangat baik kepadanya. Setibanya di sana ia disambut panitia pemilihan dan diberi petunjuk di mana ia harus duduk. Kursinya berada di bagian depan sebelah kanan ruangan. Di bagian ini ada tiga baris kursi dengan tiap barisnya terdiri sepuluh kursi, rupanya barisan ini khusus untuk para calon guru berprestasi tingkat propinsi mulai dari TK sampai SMA dari berbagai kabupaten dan kota madya. Di seberangan barisan ini, yaitu sebelah kanan ruangan terdapat empat kursi untuk panitia dan pembawa acara.

Sementara para pejabat yang berwenang sebagai dewan juri duduk di tengah-tengah ruangan, depan panggung. Di belakang dewan juri adalah para undangan serta para pendukung calon guru berprestasi. Ruangan nyaris penuh dengan manusia namun tidak terdengar suara berisik semuanya duduk dengan tenang, hanya sesekali terlihat beberapa panitia sibuk lalu lalang.

Tiba-tiba suasana menjadi agak ramai, terlihat serombongan orang dewasa mengenakan seragam pemda dan beberapa anak berseragam putih abu-abu baru datang. Ketika Nonon melirik ke arah mereka ada diantara mereka yang melambaikan tangan, Nonon masih tidak sadar sebenarnya siapa yang dilambaikan. Sampai ia melihat salah seorang berjalan dengan penuh wibawa. Ah siapa lagi yang punya gaya berjalan dan sisiran rambut yang khas seperti James Bon ternyata benar ia adalah kepala sekolah tempat Nonon mengajar dan yang lain adalah teman-teman serta murid-muridnya. Nonon tersenyum lebar, hatinya yang beku sedari tadi karena grogi, kini mulai hilang. Dirasakan kehangatan menjalar di tubuhnya, ia menjadi semangat.

Ketika giliran Nonon tampil ke atas panggung untuk menjawab pertanyaan dewan juri, suara tepukkan para pendukungnya terdengar menyambutnya. Apalagi ketika Nonon selesai menjawab pertanyaan dewan juri yang menanyakan apa dan bagaimana pendapatnya mengenai pendidikan di Indonesia, kontan terdengar suara bergemuruh yang lebih dasyat dari sebelumnya. Rupanya jawaban Nonon sangat bagus sekali sehingga bukan hanya para pendukungnya yang bertepuk tangan melainkan hadirin yang lainnya termasuk dewan juri juga ikut bertepuk tangan.

Nonon terharu, tak terasa air matanya menetes di pipinya. Dilihatnya begitu banyak manusia yang mendukung dirinya. Ia jadi teringat akan emak yang dengan tangan kecilnya telah membuat ia menjadi manusia yang berarti sehingga mendapatkan kesempatan untuk berdiri di panggung ini. Ia ingat begitu banyak orang yang bertakziah ke rumahnya, begitu banyak orang yang menyolatkan dan mengantarkan emak ke liang lahat. Saat itu ia benar-benar merasakan kebesaran emaknya seorang guru TK yang sederhana, namun luas pergaulannya. Emak memang orang yang ramah, pada siapa saja ia peduli dan mau menyapa. Sekarang ia rasakan betapa semua ajaran yang diberikan emak sangat berarti, apalagi ketika akhirnya ia terpilih sebagai guru berprestasi tingkat propinsi dan akan mewakili propinsi Banten di tingkat nasional nanti.

Sungguh Nonon merasakan kebesaran Allah, di tengah himpitan masalah keluarganya ia menerima penghargaan ini. Nonon tak henti-hentinya bersyukur atas apa yang didapatnya dan berdoa semoga hadiah yang akan diterimanya cukup untuk membiayai acara seratus harian emaknya, sehingga babe tak perlu menjual rumah yang penuh kenangan itu.

Tidak ada komentar: